Harvey Moeis divonis 78 bulan, terlalu “ringan”?
Jakarta, Klikkalteng. Com – Sejak bergulirnya kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah 2024 awal, banyak orang yang terkejut dengan nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi tersebut yaitu berkisar 300 Triliun. Angka yang fantansis dan jika disetarakan itu sama dengan APBD sub Pajak Daerah Jawa Timur 2024;
Suami dari artis Sandra Dewi, dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat, secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, secara bersama-sama dengan terdakwa lainnya, dengan :
“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan,” Majelis Hakim juga menghukum Harvey membayar denda Rp 1 miliar. Jika tak dibayar, diganti dengan kurungan 6 bulan, ditambah uang pengganti 210 Milyar. Sebelumnya pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut 12 tahun penjara, tentu bukanlah putusan yang memuaskan buat JPU.
Dalam dakwaannya Jaksa meyakini Harvey Moeis melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ke-1 KUHP.
Para pakar hukum dan masyarakat luas mempertanyakan Pidana 6,5 tahun dan aset-aset yang disita, apakah sepadan dengan kerugian negara?
Dalam pertimbangan hakim untuk memutus suatu perkara khusus tipikor, memegang pedoman asas asas khusus korupsi salah satunya Asas Harta Kekayaan Negara harus dijaga dan dilindungi (pasal 2 UU No.31/1999) atau biasa disebut asas kepemilikan negara, haruslah merupakan salah satu acuan atas pertimbangan putusan perkara yang dilakukan suami Sandra Dewi tersebut; Asas Kausalitas (Pasal 59 KUHP) juga tidak kalah pentingnya, dimana tindakan pelaku korupsi harus memiliki hubungan sebab akibat; dalam kasus ini Harvey Moeis selaku pengusaha pemegang izin IUP dan IUJP, mengekploriasasi lahan tambang timah tidak sesuai peruntukannya; satu lagi Asas Proporsionalitas (Pasal 68 kUHP), Hukuman harus proporsional dengan tindak pidana.
Kutipan pertimbangan majelis hakim :
Bahwa terdakwa Harvey Moeis pada mulanya terkait dalam usaha atau bisnis timah berawal dari ada kondisi pada PT Timah TBK selaku pemegang IUP, penambangan timah di wilayah Bangka Belitung sedang berusaha untuk meningkatkan produksi timah dan meningkatkan penjualan ekspor timah, di lain pihak ada perusahaan smelter swasta di Bangka Belitung juga sedang berusaha meningkatkan produksinya, salah satu smelter swasta tersebut adalah PT Refined Bangka Tin (RBT).
Bahwa terdakwa apabila dikaitkan dengan PT RBT, jika ada pertemuan dengan PT Timah TBK, terdakwa tampil mewakili dan atas nama PT RBT, namun terdakwa tidak termasuk dalam struktur pengurus PT RBT, terdakwa tidak masuk komisaris, tidak masuk dalam direksi, serta bukan pemegang saham.
Terdakwa beralasan hanya bermaksud membantu temannya yaitu Direktur Utama Suparta karena terdakwa memiliki pengalaman mengelola usaha tambang batu bara di Kalimantan.
Bahwa terdakwa bukan pengurus perseroan PT RBT, sehingga terdakwa bukan pembuat keputusan kerja sama antara PT Timah TBK dan PT RBT. Begitu pula terdakwa tidak mengetahui administrasi dan keuangan baik pada PT RBT dan PT Timah TBK.
Bahwa dengan keadaan tersebut terdakwa tidak berperan besar dalam hubungan kerja sama peleburan timah antara PT Timah TBK dengan PT RBT maupun dengan para pengusaha smelter, peleburan timah lainnya yang menjalin kerja sama dengan PT Timah TBK.
Bahwa PT Timah TBK dan PT RBT bukan penambang ilegal, keduanya memiliki IUP dan IUJP. Pihak yang melakukan penambangan ilegal adalah masyarakat yang jumlahnya ribuan orang.
Menimbang bahwa berdasarkan fakta tersebut, sehingga majelis hakim berpendapat tuntutan pidana penjara yang diajukan penuntut umum terhadap diri terdakwa Harvey Moeis, Suparta dan Reza Andriansyah terlalu tinggi dan harus dikurangi.
Kewenangan hakim dalam memutus perkara tersebut tentu telah memenuhi prinsip prinsip imparsialitas (tidak memihak), indepedensi, keadilan, kepastian hukum dan proporsionalitas;
Harus kita pahami bahwa unsur-unsur Tindak pidana korupsi di Indonesia terdiri dari beberapa unsur, yang dapat dibagi menjadi dua kategori: unsur objektif dan unsur subjektif.
Unsur Objektif
1. Perbuatan melawan hukum: Tindakan yang dilakukan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
2. Kekuasaan atau wewenang: Pelaku memiliki kekuasaan atau wewenang dalam pengelolaan keuangan negara.
3. Kerugian negara: Tindakan korupsi menyebabkan kerugian materiil bagi negara.
4. Penggunaan wewenang untuk kepentingan pribadi : Pelaku menggunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi.
Unsur Subjektif
1. Kesadaran dan kemauan: Pelaku menyadari dan menginginkan tindakannya akan menyebabkan kerugian negara.
2. Niat untuk memperkaya diri sendiri: Pelaku memiliki niat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
3. Kesengajaan: Tindakan korupsi dilakukan dengan sengaja dan tidak secara tidak sengaja.
Unsur Tambahan
1. Penggelapan: Menggelapkan uang atau barang negara.
2. Pemerasan: Memaksa orang lain untuk memberikan uang atau barang.
3. Penyalahgunaan wewenang: Menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi.
4. Penghambatan: Menghambat atau mengganggu proses pengelolaan keuangan negara.
Pidana penjara 6,5 tahun, terhadap Harvey Moeis secara de jure telah memiliki dasar hukum yang jelas, apakah akan menjadi suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap (BHT)? harusnya JPU mengambil langkah hukum lanjutan Banding di tingkat Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung.
Tentang Penulis
Marvil Worotitjan,SH.MH, Advokat dan Konsultan Hukum Pada Kantor MR. Richard Lawfirm, Jakarta serta Dosen Hukum Pidana UTPAS Tangerang,