Dinamika Reformasi Polri: Antara Profesionalisme, Akuntabilitas, dan Legitimasi Publik

Jakarta,klikkalteng.com – Wacana Pembubaran Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia [POLRI}

Maraknya Isu pembubaran Polri menjadi perbincangan publik di tengah berbagai kritik

terhadap lembaga penegak hukum tersebut. Desakan ini muncul akibat ketidakpuasan

masyarakat atas sejumlah kasus pelanggaran HAM, praktik penyalahgunaan

kewenangan, dan rendahnya akuntabilitas institusi keamanan. Namun demikian,

gagasan untuk membubarkan institusi sebesar Polri tidak hanya berimplikasi pada

aspek hukum, melainkan juga menyentuh dimensi komunikasi publik dan legitimasi

negara.

 

Dalam konteks ini, pertanyaan utamanya bukan semata

apakah Polri harus dibubarkan, melainkan siapa yang mengusulkan, dengan pesan

apa, melalui saluran apa, kepada siapa, dan dengan dampak sosial-politik

seperti apa.Bahasan, Wacana pembubaran Kepolisian Republik Indonesia (Polri) muncul sebagai respons atas beragam persoalan yang menimpa institusi kepolisian, mulai dari

penyalahgunaan wewenang hingga krisis kepercayaan publik.

 

Artikel ini menganalisis isu tersebut melalui perspektif teori dari berbagai sumber

berita kredibel serta pernyataan pakar hukum, artikel ini menemukan bahwa

gagasan pembubaran Polri lebih merefleksikan krisis komunikasi dan legitimasi,

bukan kebutuhan struktural negara. Data dari Indikator Politik Indonesia (2024)

menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 76,4%,

menandakan bahwa reformasi lebih relevan daripada pembubaran.

 

 

1. Fakta Empiris dan Dinamika Kepercayaan Publik

Survei Indikator Politik Indonesia (2024) mencatat tingkat kepercayaan publik

terhadap Polri mencapai 76,4%, dengan 95,9% masyarakat merasa aman di

lingkungannya dan 76,2% puas terhadap layanan kepolisian (AntaraNews, 2024).

Data ini menunjukkan bahwa meski sempat turun akibat kasus Ferdy Sambo, Polri

telah memulihkan sebagian besar kepercayaannya. Secara komunikasi publik, angka

ini mencerminkan bahwa legitimasi institusi belum hilang, melainkan membutuhkan

perbaikan transparansi dan responsivitas.

 

 

2. Wacana Pembubaran: Analisis Isi dan Aktor Komunikasi

Wacana pembubaran Polri muncul di media sosial dan ruang publik sebagai bentuk

protes terhadap RUU Polri yang dinilai memperluas kewenangan tanpa pengawasan

ketat (AJI, 2024). Namun sejumlah pakar hukum menilai usulan ini tidak

proporsional.

 

Beberapa tanggapan penting antara lain:

– Dr. I Ketut Adi Purnama (2025): Dugaan skenario untuk mengganti Polri menjadi

Kementerian Keamanan RI (Koma.id, 2025).

– Moh. Aan Riyana Saputra (2025): Subordinasi Polri ke kementerian akan

melemahkan independensi.

– Prof. Sugianto (2025): Mendukung pembentukan Komite Reformasi Polri

independen (RMOL Jabar, 2025).

– Habib Syakur Ali Mahdi (2025): Menyebut wacana pembubaran sebagai “halusinasi

politik” (RedaksiKota, 2025).

– Komnas HAM: Menegaskan pentingnya Polri dalam melindungi kebebasan sipil

(HayuaraNet, 2025).

 

3. Krisis Komunikasi dan Legitimasi

Polri menghadapi dua krisis besar: krisis persepsi publik dan krisis komunikasi

kelembagaan. Dalam teori komunikasi krisis (Coombs, 2007), lembaga publik harus

cepat, terbuka, dan empatik dalam merespons kasus sensitif. Polri sering kali

menggunakan komunikasi yang reaktif dan defensif, yang memperburuk persepsi

publik. Namun teori legitimasi (Suchman, 1995) menegaskan bahwa legitimacy can

be restored through communicative action.

 

4. Reformasi dan Komite Independen, merupakan solusi alternatif

Dari berbagai pendapat pakar, solusi utama bukanlah menghapus Polri, melainkan:

– Revisi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.

– Pembentukan Komite Reformasi Polri Independen.

– Transparansi anggaran dan digitalisasi layanan.

– Pelatihan komunikasi publik dan etika pelayanan.

 

Kesimpulan

 

Dalam demokrasi, kebijakan besar seperti membubarkan lembaga harus disertai partisipasi publik, konsultasi, mendengar aspirasi masyarakat luas. Jika hanya muncul dalam diskusi elite atau media sosial, bisa menimbulkan distrust, resistensi, bahkan konflik.

Isu pembubaran Polri merupakan refleksi dari krisis legitimasi dan

komunikasi publik, bukan kebutuhan struktural negara. Data empiris menunjukkan

tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri masih tinggi, dan pakar hukum

menilai reformasi kelembagaan jauh lebih realistis daripada pembubaran total.

 

Akunabilitas & Oversight Institusi yang kehilangan kontrol atas penyalahgunaan akan kehilangan legitimasi. Daripada dibubakarkan, mungkin revisi regulasi dan peningkatan mekanisme pengawasan lebih realistis dan aman untuk legitimasi.

 

Kebutuhan akan kepolisian sebagai institusi penegak hukum & penjaga keamanan , akan ada kekosongan struktural dalam pemeliharaan keamanan, ketertiban umum, penanganan tindak kejahatan. Institusi peradilan saja tidak cukup jika tidak ada aparat kepolisian yang memiliki kewenangan penegakan hukum dan penindakan awal.

 

Memperkuat transparansi, akuntabilitas, pengawasan internal dan eksternal (misalnya, Komnas HAM, lembaga pengaduan publik), revisi undang-undang agar kewenangan Polri dibatasi secara lebih jelas, fungsi intelijen dikaji ulang, mekanisme penyadapan yang aman, penggunaan anggaran yang transparan.

 

Resiko disintegrasi sosial & keamanan — opini dari Habib Syakur: pembubaran Polri dianggap berbahaya karena bisa menyebabkan “hukum rimba”, ketidakamanan publik, ketakutan, orde sosial terganggu.

Jika Polri berkomitmen nyata terhadap reformasi, membuka ruang dialog, memperbaiki kesalahan, secara bertahap publik bisa kembali lebih percaya, dan fungsi institusi tetap diperlukan. Pembubaran Polri adalah langkah terlalu ekstrem dan memiliki risiko besar. Tapi Polri perlu direformasi secara mendalam: regulasi, pengawasan, akuntabilitas, transparansi, pembatasan kewenangan yang berpotensi melanggar HAM, serta peran publik dalam pengawasan.

 

Komunikasi publik pemerintah dan Polri harus diperkuat: penjelasan terhadap publik tentang apa yang akan diperbaiki, bagaimana perubahannya, dengan data, laporan publik rutin, mekanisme “feedback loop” sehingga publik merasa didengarkan.

 

Institusi lain (lembaga pengawas HAM, pengadilan, komisi independen) harus diperkuat agar tidak bergantung mutlak pada Polri untuk penegakan keadilan dan HAM.

 

 

Opini ditulis oleh:

Yohanes Budi S.

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi

STIKOM Interstudi Jakarta

Back to top button